Laptop Nadiem di Sekolah Jakarta: Cepat Lemot, Hanya Bisa Google Docs, Edit via WA

Diposting pada

Penggunaan Chromebook di Sekolah: Tantangan dan Keterbatasan

Di ruang kepala sekolah SMPN 274 Jakarta Barat, tiga kardus berisi laptop Chromebook yang diberikan pemerintah masih tersusun rapi. Salah satu dari kardus tersebut akhirnya dibuka, hanya untuk menunjukkan fakta bahwa perangkat ‘serba online’ ini hanya bisa digunakan untuk Google Docs. Hasil ketikannya kemudian diedit di laptop lain melalui WhatsApp.

Kamis (17/7/2025) siang itu, ruangan terasa tenang dengan suara kipas angin dan bunyi klik dari tombol laptop yang baru saja dinyalakan. Seorang guru, Aji, bersiap mendemonstrasikan cara kerja perangkat yang belakangan menjadi sorotan. Ia mengenakan kemeja batik hitam dan duduk di depan salah satu unit yang baru saja dikeluarkan dan dinyalakan.

Aji menunjukkan layar login yang meminta akun belajar.id untuk mengakses perangkat. “Selama ini kami hanya bisa mengetik lewat Google Docs karena tidak bisa menginstal aplikasi lain. Itu kadang menyulitkan,” ujarnya.

Setelah berhasil masuk, Aji mempraktikkan penggunaan perangkat. Semua aktivitas, kata dia, hanya bisa dilakukan melalui browser Chrome. Artinya, pengetikan hanya bisa dilakukan lewat Google Docs, bukan aplikasi Word seperti yang biasa digunakan para guru dan siswa.

“Contohnya, kita kan familiar pakai Word. Sedangkan di sini adanya Google Docs. Menurut saya, kekurangan Google Docs, kita enggak bisa mengetik serapi seperti di Word,” katanya.

Karena keterbatasan tersebut, Aji dan guru lain biasanya mengunduh hasil ketikan di Google Docs, lalu mengirimkannya ke perangkat Windows melalui WhatsApp atau Google Drive untuk diedit dan dirapikan. “Ketika mau merapikan hasil ketikan, harus buka lagi di laptop OS Windows,” ujarnya.

Meski begitu, Aji menilai keberadaan Chromebook tetap membantu, asalkan akses internet lancar. “Sekarang kami pakai 100 Mbps dari provider, dan sudah ada router di setiap kelas,” katanya.

Kepala Sekolah SMNP 274 Jakarta Barat, Rosanah, menyebut sekolahnya menerima 15 unit Chromebook. Perangkat tersebut rutin digunakan untuk Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), Olimpiade Sains Nasional (OSN), serta pelatihan guru. “Membantu guru dan siswa karena sistemnya sudah digitalisasi. Jadi guru saat pelatihan-pelatihan juga sering pakai Chromebook ini,” jelas Rosanah.

Fungsi Terbatas, Tapi Masih Terpakai

Hal serupa disampaikan oleh Kepala Sekolah SMP 89 SSN Jakarta Barat, Nur Sehat. Pihaknya menerima 15 unit Chromebook dari pemerintah. Perangkat masih berfungsi dan digunakan untuk pelatihan guru, ANBK, serta perpustakaan digital. Pantauan di Lab Komputer 2 sekolah itu memperlihatkan belasan Chromebook berbaris rapi di atas meja panjang, tiap unit dipisah sekat. Menurut Nur Sehat, siswa bisa menggunakan Chromebook saat tidak ada jadwal khusus, terutama untuk akses perpustakaan digital.

“Koneksi internet tersedia, baik di ruang kelas, perpustakaan, maupun aula. Aman,” ujarnya.

Tidak Bisa Offline, Kapasitas Terbatas

Di sekolah swasta SMAS Al-Chasanah Jakarta Barat, Kepala Sekolah Nana Kristiawan mengungkap pihaknya juga menerima 15 unit Chromebook. Namun menurutnya, perangkat hanya berfungsi jika tersambung ke internet. “Perangkat ini hanya bisa digunakan secara online, tidak bisa offline. Mengetik dilakukan lewat Google Docs, spreadsheet melalui Google Sheets. Namun, saat tidak ada internet, Chromebook nyaris tidak bisa digunakan,” ujarnya.

Meskipun begitu, Chromebook memiliki keunggulan seperti kapasitas Google Drive 100 GB, akses Canva Premium, dan akses ChatGPT Premium. Dengan jumlah siswa 182 orang, Nana mengakui 15 unit tidak cukup untuk operasional rutin. Sekolah menyiasatinya dengan tambahan 20 PC dan membagi sesi pelajaran agar siswa bisa bergiliran. “Pelajaran informatika digilir. ANBK juga pakai 3 sesi sampai sore. Harapannya, dengan tambahan Chromebook, bisa dipercepat jadi dua atau satu sesi,” kata Nana.

Dugaan Korupsi Rp 9,3 Triliun

Laptop Chromebook saat ini tengah disorot publik seiring pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop dengan sistem operasi Chromebook di Kemendikbudristek tahun 2019-2022. Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dalam kasus pengadaan laptop Rp 9,3 triliun untuk 1,2 juta unit. Penggunaan Chromebook dinilai tidak optimal karena membutuhkan akses internet stabil, yang masih menjadi masalah di banyak daerah, terutama kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Dalam laporan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, disebutkan bahwa perangkat Chromebook ini memiliki “kelemahan untuk daerah 3T” akibat sistemnya yang sepenuhnya berbasis daring (cloud-based). Jampidsus menyoroti potensi “pemborosan anggaran” karena perangkat hanya optimal jika ada internet memadai.

Digitalisasi Tanpa Ekosistem yang Siap?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Chromebook memang dimanfaatkan oleh sebagian sekolah di Jakarta. Namun keterbatasan OS, aplikasi, dan ketergantungan penuh pada internet membuat fungsinya tak sefleksibel laptop konvensional. Bila di Jakarta saja guru masih harus mengedit file via WhatsApp, bagaimana nasib sekolah di pelosok negeri?

Nadiem Makarim sendiri pernah menyebut bahwa pengadaan Chromebook memang tidak diperuntukkan bagi sekolah di daerah 3T. “Saya ingin klarifikasi bahwa proses pengadaan laptop yang terjadi di masa jabatan saya tidak ditargetkan untuk daerah 3T, yang boleh menerima laptop dari pengadaan ini hanya sekolah-sekolah yang punya akses internet,” ujar Nadiem dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa, 10 Juni 2025.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan ketergantungan internet tidak hanya menjadi isu di 3T, melainkan juga di sekolah perkotaan yang belum memiliki infrastruktur WiFi stabil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *