Pusat Data AI Konsumsi Banyak Energi, Perusahaan Teknologi Berlomba Cari Solusi

Diposting pada

Perkembangan AI dan Tantangan Konsumsi Energi

Industri kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sedang menghadapi tantangan besar dalam hal konsumsi energi. Di satu sisi, penggunaan AI semakin meluas di berbagai sektor, mulai dari layanan kesehatan hingga transportasi. Di sisi lain, kebutuhan energi untuk menjalankan sistem AI terus meningkat, sehingga menjadi perhatian serius bagi para ilmuwan dan perusahaan teknologi.

Untuk mengatasi masalah ini, banyak upaya dilakukan agar AI tetap dapat beroperasi tanpa menyebabkan beban listrik yang berlebihan. Beberapa inisiatif yang sedang dikembangkan antara lain peningkatan efisiensi sistem pendingin, pengembangan chip komputer yang lebih hemat energi, serta pemrograman algoritma yang lebih cerdas. Tujuannya adalah mengurangi dampak lingkungan akibat ledakan penggunaan AI.

Menurut laporan Badan Energi Internasional (International Energy Agency), pusat data yang menjadi tulang punggung AI diperkirakan akan menghabiskan hingga 3 persen konsumsi listrik global pada tahun 2030. Angka ini dua kali lipat dari jumlah yang digunakan saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan AI harus diimbangi dengan solusi yang mampu mengurangi konsumsi energi.

Sebuah firma konsultan asal Amerika Serikat, McKinsey, memperkirakan bahwa dunia sedang menghadapi perlombaan untuk membangun pusat data yang mampu menopang pertumbuhan AI yang sangat pesat. Namun, mereka juga menyoroti risiko krisis listrik jika tidak ada solusi yang cepat dan efektif.

Mosharaf Chowdhury, profesor ilmu komputer dari University of Michigan, menjelaskan beberapa cara untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah dengan membangun lebih banyak pasokan listrik, meskipun prosesnya membutuhkan waktu lama. Opsi lainnya adalah mencari cara agar konsumsi energi bisa ditekan tanpa mengurangi performa AI.

Chowdhury menekankan bahwa solusi ini harus diimplementasikan di semua lini, termasuk perangkat keras dan algoritma AI. Contohnya, laboratoriumnya berhasil mengembangkan algoritma yang mampu menghitung kebutuhan listrik tiap chip AI secara presisi, sehingga menghemat energi hingga 20 hingga 30 persen.

Dua dekade lalu, menjalankan pusat data memerlukan konsumsi energi besar, baik untuk server maupun sistem pendinginnya. Namun, kini sistem operasional seperti pendingin hanya menghabiskan 10 persen energi dari yang dikonsumsi server. Hal ini disampaikan oleh Gareth Williams dari firma konsultan Arup.

Menurut Pankaj Sachdeva dari McKinsey, kemajuan ini didorong oleh fokus pada efisiensi energi. Kini, banyak pusat data menggunakan sensor bertenaga AI untuk mengatur suhu di zona tertentu, alih-alih mendinginkan seluruh sistem secara merata. Ini membantu menghemat penggunaan air dan listrik secara real-time.

Salah satu terobosan besar yang tengah dikembangkan adalah pendingin cair (liquid cooling). Teknologi ini menggantikan suara bising AC dengan cairan khusus yang mengalir langsung ke dalam server untuk menyerap panas. Menurut Williams, semua pemain besar di industri ini sedang mengembangkan teknologi ini.

Mengapa penting? Karena chip AI modern, seperti yang dibuat oleh Nvidia, bisa menyedot energi hingga 100 kali lipat lebih banyak dibanding server dua dekade lalu. Perusahaan cloud computing terkemuka milik Amazon, AWS, baru-baru ini mengumumkan teknologi pendingin cair buatan mereka sendiri untuk menstabilkan chip Nvidia, tanpa perlu membongkar pusat data lama.

Dave Brown, VP bidang komputasi dan machine learning AWS, menyatakan bahwa kapasitas pendingin cair saat ini masih belum cukup untuk mendukung skala operasional AWS. Namun, ada kabar baik: setiap generasi chip komputer baru kini lebih efisien dibanding pendahulunya. Riset dari Yi Ding di Purdue University menunjukkan bahwa chip AI bisa bertahan lebih lama tanpa kehilangan performa. Namun, muncul tantangan lainnya.

“Sulit meyakinkan perusahaan semikonduktor untuk mengorbankan keuntungan dengan mendorong pelanggan tetap memakai chip lama lebih lama,” ujar Ding.

Di Amerika Serikat, energi kini dianggap sebagai faktor kunci dalam menjaga keunggulan AI atas China. Awal tahun ini, startup China bernama DeepSeek merilis model AI yang performanya sebanding dengan sistem AI terbaik buatan AS, padahal hanya menggunakan chip yang lebih sederhana, dan otomatis lebih hemat energi. Para insinyur DeepSeek melakukan ini dengan pemrograman GPU yang sangat presisi, serta melewatkan satu tahapan pelatihan intensif energi yang selama ini dianggap wajib. Yang membuat AS makin waspada, China diyakini sudah jauh lebih siap dalam urusan ketersediaan energi, termasuk dari sumber terbarukan dan nuklir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *